MAKALAH
CLIENT CENTERED TERAPY (CCT)
Di susun oleh :
1.
Ajudan
Fadol (1105095119)
2.
Andi
Sitti Humaerah(1105095076)
3.
Hamri
Bid(1105095055)
4.
Idalilah(1105095099)
5.
Safar
Sulviana(1105095089)
6.
Siti
Rahayu Rahmah(1105095061)
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
FAKULTAS
KEGURUAN dan ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MULAWARMAN
2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lia
adalah siswa kelas II SMA favorit Samarinda yang baru saja naik kelas II. Ia
berasal dari keluarga nelayan yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di
desa pedalaman + 45 km di luar kota Samarinda, sebagai anak pertama semula
orang tuanya berkeberatan setamat SMP anaknya melanjutkan ke SMA di Samarinda.
Orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-susah melanjutkan
sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB
dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah.
Pertimbangan
wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain
sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMA favorit
di satu pihak, Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain
pihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya
dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap
teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang
bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan
sombong.
Makin
lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul
sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak betah, tetapi mau
keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung, jika terus bertahan susah
tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding
teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya Lia benar-benar
menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana
mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan
makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang di dapat dari latar belakang yaitu Bagaimana cara
mengentaskan masalah kesulitan belajar akibat rasa minder dengan menggunakan pendekatan client centered
therapy?
C. Tujuan
Tujuan dari disusunnya makalah ini
adalah untuk mengetahui bagaimana mengentaskan masalah kesulitan belajar akibat
rasa minder dengan menggunakan
pendekatan Client Center Theraphy.
D. Manfaat
1.
Untuk
konseli, Menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan masalah
yang sedang dihadapi
2.
Untuk konselor, agar Memperoleh pengalaman menangani kasus bidang
belajar, khususnya kasus tentang kesulitan belajar akibat rasa minder.
3.
Untuk orang tua, agar lebih mengenal
anaknya dan dapat membantu masalah yang di hadapi oleh anaknya.
4.
Untuk guru wali kelas, agar dapat
mengenal dan mengetahui masalah yang di hadapi oleh siswanya, khususnya pada
masalah kesulitan belajar akibat rasa minder.
BAB II
DASAR TEORI
A.
Konsep
Dasar Client Centered Therapy
Konsep dasar dari client-centered
therapy adalah bahwa inidividu memiliki kecenderungan untuk
mengakutalisasikan diri (actualizing tendencies) yang berfungsi satu
sama lain dalam sebuah organisme. Para terapis lebih terfokus pada “potensi apa
yang dapat dimanfaatkan”. Didalam terapi, terdapat dua kondisi inti: congruence
dan unconditional positive regard. Congruence merujuk pada
bagaimana terapis dapat mengasimilasikan dan menggiring pengalaman agar klien
sadar dan memaknai pengalaman tersebut. Unconditional positive regard adalah
bagaimana terapis dapat menerima klien apa adanya, di mana terapis membiarkan
dan menerima apa yang klien ucapkan, pikirkan, dan lakukan. Di samping itu ,
terdapat juga sejumlah konsep dasar dari sisi klien, yakni self-concept, locus
of evaluation, dan experiencing Self concept merujuk pada bagaimana
klien memandang-memikirkan-menghargai diri sendiri. Locus of
evaluation merujuk dari sudut pandang mana klien menilai diri. Orang yang
bermasalah akan terlalu menilai diri mereka berdasar persepsi orang lain
(eksternal). Experiencing, adalah proses di mana klien mengubah pola
pandangnya, dari yang kaku dan terbatas menjadi lebih terbuka.
·
Ada beberapa konsep-konsep
kepribadian yang dikemukakan Rogers, yaitu:
a. Pengalaman, yakni alam subjektif dari individual, di mana hanya
indidivu spesifik yang benar-benar memahami alam subjektif dirinya
sendiri;
b. Realitas, yaitu
persepsi individual terhadap lingkungan sekitarnya yang subjektif, di mana
perubahan terhadap persepsi akan memengaruhi pandangan individu terhadap
dirinya;
c. Kecenderungan individu untuk bereaksi sebagai
keseluruhan yang beraturan (organized whole), di mana individu cenderung bereaksi terhadap apa yang
penting bagi mereka (skala prioritas);
d. Kecenderungan individu untuk melakukan aktualisasi, di mana individu pada dasarnya
memiliki kecenderungan untuk menunjukkan potensi diri mereka, bahkan meskipun
apa yang mereka lakukan (dan pikirkan) irasional;
e. Kerangka
acuan internal
yakni bagaimana individu memandang dunia dengan cara unik mereka sendiri;
f. Self atau diri, yakni bagaimana individu memandang secara keseluruhan
hubungan aku (I) dan diriku (me), dan bagaimana hubungan
keduanya dengan lingkungan;
g. Simbolisasi, di mana individu menjadi sadar
dengan pengalamannya, dan simbolisasi itu seringkali muncul secara konsisten
dengan konsep diri;
h. Penyesuaian
psikologis, di mana
keberadaan congruence antara konsep diri dan persepsi individu akan
menjadikan individu dapat melakukan penyesuaian psikologis (dan sebaliknya);
i.
Proses penilaian organis, di mana individu membuat penilaian
pribadi berdasarkan nilai yang dianutnya; dan
j.
Orang yang berfungsi sepenuhnya, di mana orang-orang seperti ini
adalah mereka yang mampu merasakan pengalamannya, terbuka terhadap pengalaman,
dan tidak takut akan apa yang mereka sedang dan mungkin alami.
B. Pandangan Terhadap Manusia
Carl Rogers memandang manusia, dalam
hal ini klien, dengan berorientasi kepada filsafat humanistik, yaitu
1.
Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke
muka, dan realistik. Yang berarti pada dasarnya manusia itu bersifat positif,
rasional, sosial, bergerak maju, dan realistik.tingkah laku manusia diorganisir
secara keseluruhan di sekitar tendensi, dan polanya ditentukan oleh kemampuan
untuk membedakan antara respon yang efektif (menghasilkan rasa senang) dan
respon yang tidak efektif (menimbulkan rasa tidak senang).
2.
Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif
dan dapat dipercaya.
3.
Manusia memiliki tendensi dan usaha dasar untuk
mengaktualisasi pribadi, berprestasi, dan mempertahankan diri.
4.
Manusia memiliki kemampuan dasar untuk memilih tujuan
yang benar, dan membuat pilihan yang benar, apabila ia diberi situasi yang
bebas dari ancama. (Sukardi, 1984)
C. Hakikat Manusia Menurut Pandangan
Carl Rogers
1.
Hakikat manusia pada dasarnya baik dan
penuh dengan ke positifan.
2.
Manusia mempunyai kemampuan untuk
membimbing, mengatur dan mengontrol dirinya sendiri.
3.
Setiap individu pada dirinya terkandung
hati penggerak yakni terbuka terhadap pengalaman sendiri, hidup berdasarkan
pada kenyataan serta percaya pada diri sendiri.
4.
Setiap individu mempunyai kemampuan
untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri, serta mempunyai dorongan yang kuat
kearah kedewasaan dan kemerdekaan.
D. Hubungan
Antara Terapi Dan Klien
Client-centered therapy(CCT) menekankan pada sikap dan
kepercayaan dalam proses terapi antara terapis dengan klien. Efektifitas dari
pendekatan terapi ini adalah pada sifat kehangatan, ketulusan, penerimaan
nonposesif dan empati yang akurat. Client-centered
therapy beranggapan
bahwa klien sanggup menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri. Perlu
adanya respek terhadap klien dan keberanian pada seorang terapis untuk
mendorong klien agar bersedia mendengarkan dirinya sendiri dan mengikuti
arah-arahannya sendiri terutama pada saat klien membuat pilihan-pilihan yang
bukan merupakan pilihan yang diharapkan terapis. CCT membangun hubungan yang membantu,
dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area
kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Dalam Suasana ini
klien merupakan narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan
sinergis untuk perubahan yang positif. CCT cenderung spontan dan responsif
terhadap permintaan klien bila memungkinkan. Seperti permintaan untuk mengubah
jadwal terapi dan membuat panggilan telepon pada terapis.
Contoh-contoh dalam 3 macam formulasi kualitas terapis
Rogers; yaitucongruence, ketika seorang klien mengatakan keengganannya
mengunjungi terapi karena baginya membuang-buang waktu sang terapis. Maka sikap
terapis yang ditunjukkan bahwa bagi sang terapis hal ini tidak akan
mebuang-buang waktunya dan mengungkapkan bahwa terapi ingin bertemu dengan
klien dilain waktu lagi jika terapis bersedia; unconditional positive regard,
ketika terapis mengatakan bahwa masalahnya tidak akan berhasil diselesaikan
maka terapis dapat bersikap dengan memberikan percayaan pada klien bahwa ia
dapat menyelesaikan masalahnya dan terapis akan menerima klien apabila ia
bersedia dating kembali; dan empathic
understanding of the client’s internal frame of reference, saat klien menceritakan suatu
kejadian, maka terapis mencoba memahami situasi saat itu yang terjadi pada
klien dan mencoba mendapatkan tanggapan kembali dari klien dengan lebih banyak
informasi.
E.
Teknik Konseling
Adapun
teknik konseling yang digunakan dalam clien
center therapy adalah sebagai berikut:
1. Aceptance
(penerimaan)
2. Respect
(rasa hormat)
3. Understanding
(mengerti, memahami)
4. Reassurance
(menentramkan hati, meyakini)
5. Encouragement
(dorongan)
6. Limited
Questioning (pertanyaan terbatas)
7. Reflection
(memantulkan pertanyaan dan perasaan)
F.
Tujuan Konseling
Pada dasarnya klien sendiri menentukan tujuan konseling,
konselor hanya membantu klien menjadi lebih matang dan kembali melakukan
aktualisasi diri dengan menghilangkan hambatan-hambatannya. Namun secara lebih
khusus membebaskan klien dari kungkungan tingkah laku (yang dipelajarinya)
selama ini, yang semuanya itu membuat dirinya palsu dan terganggu dalam
aktualisasi dirinya.
Tujuan Konseling adalah menyediakan iklim yang aman
dan percaya dalam pengaturan konseling sedemikian sehingga konseli, dengan
menggunakan hubungan konseling untuk self-exploration, dapat menjadi sadar akan
blok/hambatan ke pertumbuhan. Konseli cenderung untuk bergerak ke arah lebih
terbuka, kepercayaan diri lebih besar, lebih sedia untuk meningkatkan diri
sebagai lawan menjadi mandeg, dan lebih hidup dari standard internal sebagai
lawan mengambil ukuran eksternal untuk apa ia perlu menjadi.
G.
Fungsi dan Peran Terapis
Fungsi terapis adalah membangun suatu iklim terapeutik yang
menunjang pertumbuhan klien..terapis tidak dibatasi dalam bentuk bantuan yang
dapat diberikan kepada klien bahwa klien-terapis berpusat dapat berfungsi
sebagai sumber informasi tentang terapi lain atau perawatan dan sebagai orang yang
membantu klien memanfaatkan terapi atau perawatan yang diberikan oleh orang
lain Kadang-kadang membantu klien memanfaatkan terapi lain berarti meminimalkan
kerusakan mereka ke klien yang terjadi seperti yang menguntungkan dia. Sampai
pembantu lain, dokter, terapis psikologis dan perilaku, psychopharmacologists,
dll, adalah, diri mereka sendiri, orang-berpusat tetap kasus bahwa banyak dari
ahli melanggar hal-sendiri atau otonomi pasien dan klien mereka.
Terapi berpusat pada klien tidak menciptakan sebuah lingkungan
di mana terapis akan memberitahu pasien apa yang dia harus berpikir atau
lakukan. Alih-alih memberikan jawaban atau solusi untuk pasien, peran terapis
adalah membantu pasien dalam menemukan jawaban sendiri. Proses, sementara
kadang-kadang lambat dan tidak praktis, memiliki manfaat membantu pasien
mengembangkan keyakinan pada kemampuannya untuk menghadapi situasi kehidupan,
memeriksa mereka, dan akhirnya menemukan cara untuk secara efektif menangani
mereka.
Terapis berfugsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan
pribadi seseorang dengan jalan membantunya dalam menemukan
kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan person
centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan seseorang untuk
mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.
Peran terapis client centered berakar pada cara-cara keberadaanya dan
sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk
menjadikan client ‘berbuat sesuatu’. Terapis client centered membangun hubungan yang membantu dimana client akan
mengalami kebebasan yang diperlukan untuk mengeksplorasikan area-area hidupnya
yang sekarang didistrosinya. Client menjadi kurang defensive dan menjadi lebih
terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada didalam dirinya maupun dalam
dunia. Yang utama dan terutama, terapis harus bersedia menjadi nyata dalam
hubungan dengan client. Terapis
menghadapi client berlandaskan pengalaman dari saat kesaat dam membantu client
dengan jalan memasuki dunianya, melalui perhatian yang tulus, respek,
penerimaan, dan pengertian terapis, sehingga client bisa menghilangkan
pertahanan-pertahanan dan persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju
taraf fungsi pribadi yang lebih tinggi.
H.
Kelemahan dan kelebihan client
centered therapy
a.
Kelebihan pendekatan client
centered therapy
1. Pemusatan pada klien dan bukan
pada therapist
2. Identifikasi dan hubungan
terapi sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian.
3. Lebih menekankan pada sikap
terapi daripada teknik.
4. Memberikan
kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif.
5. Penekanan
emosi, perasaan, perasaan dan afektif dalam terapi
6. Menawarkan perspektif yang
lebih up-to-date dan optimis
7. Klien memiliki pengalaman
positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya
8. Klien merasa mereka dapat
mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak
dijustifikasi
b. Kekurangan Pendekatan client centered therapy
1.
Terapi
berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana
2.
Terlalu
menekankan aspek afektif, emosional, perasaan
3.
Tujuan
untuk setiap klien yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas dan umum sehingga
sulit untuk menilai individu.
4.
Tidak
cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil
tanggungjawabnya.
5.
Sulit
bagi therapist untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal.
6.
Teapi
menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif.
Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup
7.
Tidak
bisa digunakan pada penderita psikopatology yang parah
8.
Minim
teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Langkah-Langkah
Pengentasan Masalah
1. Analisis
a. Kemajuan
Akademis
Pada saat duduk
di sekolah dasar (SD) Lia selalu masuk dalam peringkat tiga besar di kelasnya
dari 35 siswa. Dia juga sering mengikuti
lomba cerdas cermat antar sekolah, tingkat SD. Dan Lia selalu mendapatkan
dukungan dari guru-guru di sekolahnya.
Hingga Lia lulus SD dengan nilai yang baik sehingga ia dapat melanjutkan
sekolah menengah pertama (SMP) di salah satu sekolah favorite di kecamatannya.
Dan saat duduk di
sekolah menengah pertama (SMP), Lia adalah anak yang tergolong cerdas. Dia
masuk ke kelas A yang berarti dia masuk di kelas anak yang tergolong pintar.
Dia mendapatkan nilai-nilai yang baik khusunya di bidang IPA. Dia juga selalu
masuk dalam peringkat 10 besar di sekolahnya. Hingga dia lulus dengan
nilai-nilai yang baik dan di rekomendasikan oleh guru wali kelasnya agar
melanjutkan sekolah menengah atas (SMA) di salah satu SMA favorit di Samarinda
karena Lia terbilang anak yang cerdas di antara teman-temannya yang lain.
Tapi mengapa
pada saat Lia duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), Lia mengalami
kemundurun dalam prestasi belajarnya. Di karenakan Lia kurang mampu beradaptasi
pada lingkungan sekolahnya. Lia selalu merasa minder terhadap teman-teman yang
ada di sekolahnya. Dan akhirnya berdampak pada proses belajarnya. Jika di lihat
dari nilai-nilai harian konseli dapat terlihat dengan jelas bahwa konseli
mengalami kemunduran. Nilai-nilai konseli semakin hari terus menerus saja
menurun. Tidak adanya kemajuan yang di berikan terhadap konseli. Sehingga Lia
sekarang terancam tidak bisa naik kelas.
b. Keadaan
Fisik
Pada saat Lia
kecil, Lia sering mengalami kejang-kejang, demam, dan pada saat mulai memasuki
usia SD Lia juga mengalami sakit gigi, dan dia juga di diagnosa oleh dokter
bahwa dia mengidap penyakit Tipes. Tetapi penyakit yang di alami oleh Lia tidak
terlalu berpengaruh pada pertumbuhannya. Sehingga Konseli mengalami pertumbuhan
yang sangat baik. konseli bertubuh tinggi,berambut panjang,berkulit sawo matang
dan memiliki berat tubuh yang ideal. Sehingga Lia mempunyai kondisi fisik yang
cukup bagus pada remaja seusia Lia.
c. Keadaan
Keluarga
Orang tua Lia
tinggal di sebuah desa di daerah Muara Badak, konseli berasal dari kelurga yang
berkecukup secara ekonomi di desa pedalaman ± 45 km dari kota samarinda, walaupun
kedua Orang tua konseli hanya berfrofesi sebagai nelayan. Ayah Lia setiap harinya selalu pergi mencari
ikan di laut (nelayan) dan pulang pada sore hari, dan kadang-kadang ayahnya
pulang pada malam hari. Sedangkan ibu Lia mempunyai sebuah usaha di rumahnya
yaitu membuka toko di depan rumahnya yang mana setiap harinya banyak di
kunjungi oleh masyarakat sekitarnya.
Sejak tiga tahun
yang lalu kakek Lia meninggal dunia, jadi pada saat itulah nenek Lia ikut
tinggal bersama ke dua orang tua Lia yang mana nenek Lia tersebut adalah orang
tua dari ayah Lia. Selain nenek Lia yang tinggal di rumah tersebut juga ada
seorang saudara dari ibu Lia yang tinggal di rumah tersebut.
d. Tingkah
Laku Sosial
Di dalam
keluarga, Lia dapat bersosialisasi dengan baik. Dia akrab dengan semua anggota
keluarganya baik dari keluarga ibunya maupun keluarga dari ayahnya.Lia di kenal
sebagai anak yang terbuka, baik, dan ramah. Lia juga dapat bersosialisasi
dengan baik pada masyarakat sekitarnya, dan Lia juga dapat di katakan sebagai
anak yang ramah,sopan terhadap tetangganya.
Namun ketika Lia
mulai melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA), dia merasa minder
terhadap teman-temannya. Lia merasa malu karena teman-teman di sekolahnya
kurang menerima dia. Karena dia berasal dari desa yang terpencil, lalu ia menganggap teman-teman dari
keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih
teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan
ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan
anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya dan Lia menjadi tidak krasan atau
tidak betah bersekolah di sekolah tersebut.
2.
Sintesis
a. Kemajuan
Akademis
Di lihat dari kemajuan akademis di
atas dapat di simpulkan bahwa Lia tergolong anak yang cerdas sejak SD-SMP. Lia
selalu mendapatkan peringkat di kelas dan di sekolahnya. Namun pada saat duduk di
bangku SMA, Lia mengalami kemunduran dalam prestasinya yang di akibatkan oleh
rasa mindernya. Dan nilai-nilai Lia semakin hari mengalami kemunduran dan tidak
ada tampak kemajuan yang di berikan oleh Lia.
b. Keadaan
Fisik
Di lihat dari keadadan fisik di
atas dapat di simpulkan bahwa Lia sering sakit-sakitan hingga sekarang, tetapi
itu semua tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan Lia. Sehingga Lia mempunyai
kondisi fisik yang cukup bagus pada remaja seusia Lia.
c. Keadaan
Keluarga
Di lihat dari keadaan keluarga Lia
dapat di simpulkan bahwa keluarga Lia tergolong berkecukupan walupun ayahnya
hanya seorang nelayan dan menanggung biaya hidup orang tuanya dan satu orang
iparnya.
d. Tingkah
Laku Sosial
Di lihat dari tingkah laku social
di atas dapat di simpulkan bahwa Lia awalnya anak yang ramah dan terbuka pada
keluarganya maupun di lingkungan sekitar rumahnya.Namun, setelah Lia
melanjutkan sekolah di Samarinda Lia menjadi selalu merasa minder terhadap
teman-teman sekolanya.
3.
Diagnosis
Diagnosis
memiliki arti suatu upaya untuk mengenal, menetapkan atau menentukan sifat,
serta hakekat dalam suatu peristiwa melalui pengamatan terhadap gejala.
Berdasarkan dari
hasil analisis dan sintesis diatas yang menjadi penyebab permasalahan Lia
adalah selalu merasa minder terhadap teman-teman di sekolahnya.
4.
Prognosis
Dilihat dari
masalah yang dihadapi oleh Lia
tersebut, maka dapat digunakan beberapa alternatif bantuan untuk membantu menyelesaikan
masalahnya tersebut, yaitu dengan dilakukannya konseling individu untuk memberikan
pengertian dan alternatif bantuan kepada konseli mengenai kesulitan belajar
akibat rasa minder.
5.
Treatment
Verbatim
Tempat : di ruangan BK
Tanggal : 10 oktober 2012
Waktu : pukul 11.09 -11.40
1. Konseli : selamat siang bu.
2. Konselor :selamat siang juga Lia, silahkan
duduk Lia (sambil tersenyum)
3. Konseli : ia bu terima kasih, maaf bu
sebelumnya telah mengganggu jam istirahat ibu, mmm….. ( dengan wajah
kebingungan )
4. Konselor : oohh,… ia tidak apa-apa Lia,
kebetulan ibu juga tidak sibuk. ( sambil tersenyum).” Apa kabar Lia hari ini ”
??
5. Konseli :” lumayan baik bu”. (dengan
suara pelan)
6. Konselor :” lumayan baik” ??
7. Konseli : ia bu. saya sedang mengalami
masalah, yahh. . ( menghela nafas dengan panjang) untuk itu saya datang kemari
menemui ibu dan saya ingin menceritakannya kepada ibu.
8. Konselor : “ ooohhh” boleh Lia.
Silahkan,Lia mau cerita apa ?? (dengan sikap menerima)
9. Konseli : Duhhh . .. (dengan wajah kebingungan) saya bingung bu
harus mulai dari mana tapi mungkin ibu sudah mendengarnya dari teman-teman
sekolah atau dari guru-guru sekolah. (dengan wajah yang lemas)
10. Konselor : “ eemm . . “ ibu mengerti.
Coba Lia jelaskan dengan pelan.
11. Konseli : baik bu. Saya akan coba
lakukan.
12. Konselor :” ok”. Kalau begitu ibu akan
mendengarkan cerita Lia dan apa sebenarnya yang sudah mengganggu Lia saat ini.
13. Konseli : begini bu. (agak ragu) sejak
saya masuk ke sekolah ini saya merasa minder dengan teman-teman yang ada di
sini.
14. Konselor : “emmm . . .terus . “
15. Konseli : jadi, saya merasa bahwa saya
tidak pantas berada di sekolah ini. Karena saya bukan dari anak orang kaya
melainkan hanya anak dari seorang nelayan.
16. Konselor : lalu bagaimana?? (pertanyaan
terbuka)
17. Konseli : lalu , , saya terus merasa
malu dan minder yang semakin hari terus meningkat dan saya sadar ini mempengaruhi dalam proses belajar saya.
18. Konselor
: merasa minder ? bagaimana
bisa kamu memiliki rasa minder terhadap teman-teman kamu, ??
19. Konseli : Karena saya pernah menyapa
salah satu siswi di sekolah ini. Tapi dia tidak menghiraukan saya. Jadi saya
berfikir bahwa mereka hanya ingin berteman pada sesamanya dan mereka semunya
sombong.
20. Konselor : emm , , jadi begitu kejadiannya, , tapi mengapa kamu
bisa langsung menyimpulkan bahwa mereka seperti yang kamu bilang tadi itu..??
21. Konseli : eeemmmm , , , , (lia pun
terdiam dan tidak menjawab pertanyaan)
22. Konselor : emm,, baiklah jika kamu tidak
ingin menjawab pertanyaan ibu,,, trus apa yang kamu rasakan setelah kejadian
itu?
23. Konseli : saya jadi malu bu,,, (dengan
wajah menunduk)
24. Konselor : terus apa yang kamu lakukan
setelah kamu malu??
25. Konseli : “ saya lebih menutup diri,
minder dan saya lebih sulit untuk bersosialisasi kepada temen-teman.
26. Konselor : apa dengan begitu kamu merasa
lebih baik atau lega ?? (pertanyaan terbuka)
27. Konseli
: emm . . (tertunduk dan
diam sejenak)
Tidak bu, malah itu semua membuat
saya merasa terisolik dan merasa di tolak menjadi lebih kuat.
28. Konselor : kalau begitu kamu harus bisa
membuka diri dan mulai mencoba bergaul pada teman-teman kamu di sekolah. Dan
kamu harus bisa mulai untuk menerima teman-teman yang ada di sekitarmu.
29. Konseli : tapi bu, , , bagaimana
caranya saya memulai itu semua ?
30. Konselor : kamu cobalah secara perlahan menyapa salah
satu teman kamu, mungkin kamu bisa memulainya dengan teman sebangkumu.
31. Konseli : tapi bu, saya takut. Jika
saya menyapanya dia juga tidak menghiraukan saya.
32. Konselor : jangan takut Lia, kamu harus
bisa mencobanya bagaimana kamu akan tahu bagaimana nantinya jika kamu tidak
pernah mencobanya.
33. Konseli : baiklah bu saya akan
mencobanya, , ,
34. Konselor ; nahh , , (dengan sedikit
tersenyum) begitu donk Lia. Kamu juga harus bisa mensuport dirimu sendiri. Okkk
, ,
35. Konseli : baiklah bu saya akan mencoba
saran-saran yang ibu berikan.
36. Konselor : baiklah kalau begitu . . heemm
, , bagaimana persaan Lia sekarang ?
37. Konseli : eeemmm , , Alhamdulillah bu saya mersa sedikit lega
setelah saya menceritakannya ke pada ibu.
38. Konselor : syukurlah jika seperti itu.
39. Konseli : emmm, , Sebelum dan
sesudahnya saya mengucapkan terimah kasih kepada ibu.
40. Konselor : ia Lia sama-sama. (dengan tersenyum). Ibu juga
berterima kasih ke pada Lia karena sudah mempercayai ibu.
41. Konseli : ia bu sama-sama. tapi bu,
apakah saya bisa menemui ibu lagi di lain waktu??
42. Konselor : (tersenyum) . . tentu saja Lia. Kamu dapat menemui ibu di
lain waktu nantinya.
43. Konseli : baiklah bu. Saya akan
memghubungi ibu lagi jika saya ingin bertemu dengan ibu.
44. Konselor : ia Lia , ,
45. Konseli : kalau begitu saya pamit dulu
ya bu , ,
46. Konselor :bu,Lia harus bisa bangkit dari masalah
yang sedang Lia hadapi untuk tidak minder kepada teman-teman Lia karena hanya
Lia lah yang bisa menyelesaikannya,cuman Lia yang mengerti diri Lia,Dan ibu akan senang jika
lia sering kemari dan bercerita dengan ibu. Hati –hati di jalan yah, lia .
47. Konseli :Baik bu,, Terima Kasih.
assalamualaikum.
48. Konselor : walaikum salam.
6. Follow
up
Secara
keseluruhan konseli sudah secara suka rela dan terbuka dalam mengungkapkan
masalahnya. Hal ini merupakan suatu hal yang baik, karena dengan sikap suka
rela dan terbuka proses konseling akan lebih mudah dilaksanakan. Konseli juga
sudah mau berusaha mengatasi kurangnya minat dan berusaha mengurangi sikap
buruknya dalam hal tidak mau membuka diri atau minder. Hal ini merupakan suatu
hal yang positif bahwa konseli memiliki keinginan yang kuat untuk memecahkan
masalahnya. Dengan adanya konseling konseli menjadi lebih termotivasi untuk
segera lepas dari masalah kesulitan
belajar akibat rasa minder. Konselor dan konseli memutuskan untuk melakukan
konseling lanjutan di lain waktu sesuai dengan kesepakatan mereka. Dan konseli
berjanji akan membuka diri atau mencoba menerima teman-teman yang ada di
sekitarnya.
BAB
IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Lia
tidak tinggal bersama kedua orang tuanya karena jarak antara sekolah dan
rumahnya terlalu jauh.
2. Lia
merasa minder (kurang percaya diri), sehingga ia mengalami kemunduran dalam
prestasinya karena susah bersosialisasi dengan lingkungannya.
3. Setelah
melakukan konseling, Lia mulai membuka diri dan mau menerima teman-temanya.
B.
SARAN
1. Untuk
konseli, harus terus mampu memotivasi diri, sehingga minat belajar tidak
menurun.
2. Untuk
konselor, sebaiknya mempererat hubungan antara konselor dan konseli, agar
konselor mendapat kepercayaan penuh dari konseli terkait penyelesaian masalah
yang sedang dihadapi.
3. Untuk
orang tua, sebaiknya lebih memahami masalah apa yang sedang dihadapi oleh anak.
4. Untuk
guru wali kelas, sebaiknya guru wali kelas lebih memahami dan dapat memngetahui
apa yang terjadi pada siswa-siswi mereka. Dan dapat mengenal mereka lebih
dalam.
oke
BalasHapusoke
BalasHapusSANGAT BERGUNA
BalasHapusIJIN COPY
Saran, cantumkan sumber teorinya untuk memperkuat makalahnya
BalasHapusoverall, sangat berguna